BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia adalah bangsa yang majemuk
yang syarat dengan
keberagaman, baik dalam ranah etnik, budaya, agama, maupun suku. Keberagaman ini telah
menjadi landasan dalam berkehidupan dan berkebangsaan yang membuat bangsa ini
menjadi bangsa yang besar. Namun,
keberagaman yang merupakan kekayaan bangsa jika tidak dikelola dengan baik dalam kehidupan
dapat menjadi investasi konflik. Maka keberagaman ini harus di kelola dengan
edukatif, sistematis, dan kreatif, agar menjadi asset bangsa yang tak ternilai.
Karenanya, sebagaimana bangsa
multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik
kedalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting. Ironisnya,
setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antar etnik tetap saja
terjadi. Sementara pembauran antar etnik berlangsung terutama di daerah-daerah
urban, konflik antar etnik terus terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk
meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh
subur pemujaan etnik.
Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan,
yang bahkan beberapa di antaranya sangat kontras, potensi kearah konflik
sangatlah besar. Ketika Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai
suatu rangkaian konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat mengenai apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga
berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai
sikap dan cara berfikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan
inilah masalah terbesar dalam persatuan antar etnik. Nilai budaya inilah yang
berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi ciri
khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan sikap dan
perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai budaya-nilai budaya yang berbeda
pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berfikir yang berbeda pula.
Demikian juga dalam perilaku yang di
ambil meskipun dalam masalah yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan
konflik terutama pada masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antar
etnik. Oleh
karena itulah, dalam makalah ini kami akan memaparkan
penjelasan mengenai potensi konflik
antar kelompok etnik.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang di
maksud dengan konflik dan kelompok etnis ?
2.
Apa saja yang
menjadi potensi konflik antar kelompok etnis di Indonesia ?
3.
Bagaimana cara
mengurangi dan mengatasi konflik antar kelompok etnis di Indonesia ?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
agar kita dapat mengetahui dan memahami pengetahuan tentang multikultural dan integritas nasional
khususnya memahami potensi konflik yang akan terjadi di dalam kemajemukan etnis
di Indonesia.
D.
Metode
Penulisan
Metode penulisan dari makalah ini
merupakan sumber-sumber yang berasal dari data di sumber tak terbatas yaitu
internet dan buku-buku yang di baca sebagai sumber rujukan
makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konflik dan Kelompok Etnis
a. Pengertian
Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Secara umum konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Pengertian konflik menurut beberapa ahli. Yaitu:
1.
Menurut
Berstein, konflik merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat
dicegah yang mempunyai potensi yang memberi pengaruh positif dan negatif.
2.
Dr. Robert M.Z
Lawang, konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, di
mana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan,
tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
3.
Menurut Soerjono
Soekanto, konflik adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau
kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak
lawan yang disertai dengan ancamandan atau kekerasan.
4.
Lewis a. Coser,
konflik adalah perselisihan mengenai nilai nilai atau tuntutan tuntutanberkenaan
dengan status, kuasa dan sumber sumber kekayaan yang persediaannya terbatas.
Selain pendapat
definisi konflik, para ahli juga memiliki pandangan tentang konflik. Seperti
yang di kemukakan oleh Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan
dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (myers, 1993:234)
1)
Dalam pandangan
tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari.
Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab
pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan
dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan
kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap
emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan
konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional,
konflik haruslah dihindari.
Dari
pandangan ini telah kami diskusikan dengan teman sekelas dan memicu pertanyaan
dari seorang teman yaitu apakah pandangan ini memiliki pandangan konflik yang
positif ?[1]
menurut kami, secara umum konflik memang ada yang positif yaitu salah satunya
kompetisi. Pandangan ini di kemukakan oleh seorang tokoh yang memang ini adalah
pandangan dia tentang konflik. Kita lihat saja definisi konflik secara umum
dimana konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. dari pengertian ini saja kita
dapat lihat bahwa konflik adalah interaksi yang negatif.
2)
Pandangan
kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan
sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia.
Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi
bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan
antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu
hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang
destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun
organisasi tersebut, misalnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
b. Pengertian
Kelompok Etnis
Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan
manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya,
biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun
ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan
oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Kelompok etnis menurut Barth (1998) dalam Habib
(2004), bahwa kelompok etnik adalah suatu populasi yang secara biologis mampu
berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar
akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan
intraksi sendiri, menentukan sendiri kelompok lain dan dapat dibedakan dari
kelompok populasi lain.
Jadi, konflik antar etnis berarrti dua pihak atau lebih dari kelompok
etnik yang bertentangan. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya
mengatasnamakan etnis dan bisa saja hanya prasangka orang lain yang melihatnya.
B.
Potensi Konflik Antar Kelompok Etnis di Indonesia
Sumber
konflik antar etnik konflik bisa
disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik
terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu
dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya
penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam
hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik antara lain:
1)
Kepentingan yang sama
diantara beberapa pihak.
2)
Perebutan sumber daya.
3)
Sumber daya yang
terbatas.
4)
Kategori atau identitas
yang berbeda.
5)
Prasangka atau
diskriminasi.
6)
Ketidakjelasan aturan
(ketidakadilan).
Sementara itu, Sukamdi (2002)
menyebutkan bahwa konflik antar etnik di
Indonesia terdiri dari tiga sebab utama yaitu:
1)
Konflik muncul karena
ada benturan budaya.
2)
Karena masalah
ekonomi-politik.
3)
Karena kesenjangan
ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Seperti
contohnya konflik antara etnis lampung selatan dengan bali nuraga[2].
Dimana konflik ini terjadi dari konflik individu dan sekarang menjadi konflik
antar etnis. Awalnya memang konflik ini berawal dari hal yang sepele dan
mungkin dapat di selesaikan secara kekeluargaan. Awal mula konflik ini terjadi
yaitu dipicu dugaan pelecehan seks yang menimpa dua gadis
remaja. Kronologi kejadian saat 2 gadis
remaja dari Desa Agom, Nu, 19, dan Em, 18, yang melintas di Desa
Balinuraga, jatuh dari motor. Kedua
gadis ini bukannya mendapatkan pertolongan dari para pemuda yang nongkrong di
desa itu malah dilecehkan dengan cara dicolek-colek tubuhnya. Tidak terima
diperlakukan tak senonoh membuat kedua gadis ini melapor kepada kedua
orangtuanya dan membuat konflik ini ke
ranah yang lebih luas lagi yaitu mengatas namakan etnis. Bukan
hanya karena perkelahian sahaja akan tetapi kesenjangan ekonomi diantara kedua
etnis berbeda ini bisa juga menjadi pemicu bentrokan yang berkala.
Seorang guru besar antropolog,
Prof. Irwan Abdullah dalam bukunya[3]
mengatakan bahwa ada dua hal yang bisa menjadi sangat berbahaya didalam ruang
lingkup penduduk yang memuat lingkungan pendatang dan penduduk lokal. Yang
pertama adalah ketika kelompok etnis dominan yang lebih unggul dalam hal
ekonomi dan lain-lain, mendapatkan privelese dari berbagai agen sosial,
khususnya pemerintah, dan yang kedua adalah ketika kesadaran tentang
batas-batas budaya (cultural boundaries)
mulai muncul. Orang-orang lampung setempat mungkin menyadari bahwa terdapat
suatu keadaan dimana penduduk pendatang mempunyai tempat yang lebih dari
mereka.
Benturan budaya antar etnik terjadi
karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas
sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan
etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif
yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang
dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar
belakang budayanya. Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam
menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan.
Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung
akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber
konflik yang potensial.
Contoh : Dalam kasus konflik antara
etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada
kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali
bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak
jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik
antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai
etnik mana. Dan sebuah perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah
membawa identitas etnik masing-masing.
Dari contoh kasus
yang di paparkan di atas, banyak konflik yang dipicu oleh persoalan
ekonomi. Ketersediaan sumber
daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan
terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang,
maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber
daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya
maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga
menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi
memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial. Dalam hal
ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya
ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan
ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam
distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai
kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena
perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.
Sementara itu peranan politik dalam
konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak-pihak yang memiliki
kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik
sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya
faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan
faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik
mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin
menjadi salah satu sebab yang membuat pihak-pihak yang terlibat menggunakan
konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa
dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.
Dalam hal ini faktor prasangka
merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul
maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar
etnik secara terbuka. Sehingga adapat dinyatakan bahwa prasangka merupakan
sumber konflik antar etnik terbesar. Di Indonesia, agama merupakan isu utama
yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah
etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di
Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus
Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian
berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Sehingga
dapat di katakan bahwa semua kasus konflik dipicu salah satunya oleh prasangka
yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik
antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis,
dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.
C.
Cara Mengurangi dan Mengatasi Konflik Antar Kelompok
etnis di Indonesia
Bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Itu adalah fakta yang tak
bisa ditutupi atau dihindari. Di mana pun di dunia ini, keberagaman suku itu
pasti ada. Keberagaman itu memang memperlihatkan betapa banyaknya perbedaan
yang harus dipahami. Dari segi bahasa, satu kata bisa berarti begitu indahnya
bagi satu suku, tetapi sebaliknya kata yang mempunyai arti indah itu mempunyai
arti yang begitu jelek dan jorok bagi suku yang lain. Akibatnya, konflik yang
berujung kekerasan antar sesama tak dapat dihindari lagi.
Konflik
dan kekerasan hampir selalu menjadi isu yang berkaitan. Kekerasan dapat terjadi
sebagai bagian dari konflik, namun juga dapat terjadi sebagai satu tahapan
dalam rangka mengakhiri konflik. Konflik sendiri tidak selalu buruk karena ia
dapat menjadi suatu fase untuk mencapai tahapan yang lebih baik. Yang kurang
baik adalah penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan konflik.
Terdapat
dua jenis cara untuk mencegah konflik[4].
Pertama, disebut sebagai light prevention
dan yang kedua deep prevention. Light prevention ini berupaya untuk
mencegah situasi kekerasan mengarah pada konflik bersenjata sehingga ia tidak
berusaha untuk menyelidik lebih dalam pada sumber dan akar konflik. Contohnya
adalah usaha-usaha mediasi dan intervensi diplomatic. Sedangkan deep prevention berupaya untuk menemukan
akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas konflik tersebut
dalam tatanan kapasitas domestik, regional, dan internasional untk mengelola
konflik, yang melibatkan seluruh elemen konflik dan bertujuan untuk mengurangi
kemungkinan timbulnya konflik. Untuk mencegah konflik atau perang sebelumnya
harus diidentifikasi terlebih dahulu tipe konflik dan lokasi potensi-potensi
konflik. Dan pencegahan bersifat relatif, bergantung pada aktornya baik konflik
interstate wars maupun non-interstate war. Interstate war menitikberatkan pada perang yang dilakukan antara
negara-negara dengan kapasitas power yang besar. Misalnya adalah LBB dan
Perjanjian Versailles bertindak sebagai alat preventif perang yang terjadi pada
Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sementara non-interstate war mengarah pada konflik-konflik yang meliputi
konflik etnis karena adanya stratifikasi sosial, polarisasi masyarakat, inappropriate systemic, regional diasporas,
dan sebagainya.
Berhasil
atau tidaknya pencegahan konflik dapat dinilai dari beberapa tolak ukur,
seperti implementasi kebijakan yang berlangsung segera dan cepat; adanya
koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat dalam pencegahan konflik; pendekatan
yang cenderung bebas dari pemerintah atau negara-negara yang peduli; adanya
pendekatan jangka panjang; dan keikutsertaan kepentingan nasional dari salah
satu negara yang turut campur tangan. Pencegahan konflik dapat dikatakan gagal
apabila terjadi konflik senjata (light
measures) dan ketika situasi yang ada mengarah pada konflik yang lebih besar
(deep measures). Akan tetapi
pencegahan konflik dapat dikatakan berhasil apabila konflik bersenjata dapat
beralih ke arah perdamaian.
Salah
satu contoh kasus resolusi konflik yang berhasil adalah Resolusi Dewan Keamanan
PBB terkait dengan konflik etnis antara etnis Albania dan etnis Serbia yang
terjadi di Kosovo setelah lengsernya pemerintahan Milosevic. DK PBB kemudian
membentuk apa yang disebut UNMIK (United Nations Interim Administration for
Kosovo) yang dibentuk pada 10 Juni 1999 dengan mengeluarkan Resolusi No. 1244
yang bertujuan untuk memulihkan kondisi di Kosovo pasca perang. UNMIK sendiri
bertugas untuk melakukan pembangunan kembali sarana dan prasarana yang ada di
Kosovo antara lain pendidikan, kesehatan, perbankan, telekomunikasi, hukum,
ketertiban masyarakat, dan lain sebagainya.
Dari sini terlihat bahwa peran resolusi tidak hanya sebatas
menyelesaikan konflik namun juga merekonsiliasikan dan berusaha mengembalikan
kondisi dan situasi yang damai seperti sebelum masa perang.
Sebetulnya,
konflik antar suku
di Indonesia tidak perlu terjadi jika kita memiliki sikap-sikap berikut ini:
·
Mengenal
Dengan mengenal pihak
yang berbeda suku, terutama yang hidup berdampingan, akan memperkecil bahkan
mencegah timbulnya konflik antar suku di Indonesia. Mengenal tidak hanya tahu
namanya, tetapi mengetahui suku bangsanya serta adat atau kebiasaan yang
bersangkutan. Dengan demikian, ketika suatu saat ada hal-hal yang berbeda
dengan adat atau kebiasaan suku kita, dapat kita pahami dan bisa kita terima
dengan besar hati.
·
Tidak Ekspresif
Bertindak ekspresif
ketika ada sesuatu yang berbeda dengan kita, kadang, menimbulkan terjadinya
konflik antarsuku di Indonesia. Sebetulnya, jika kita sudah mengenal, hal ini
tdak akan terjadi. Oleh karena itu, ketika mereka bertindak atau bertingkah
laku tidak sama dengan kita, bahkan jauh berbeda, kita tidak kaget lagi. Dengan
begitu, tidak akan ada saling mencemooh atau pihak lain yang tersinggung karena
tindakan kita yang ekspresif tersebut, biasanya berujung pada saling serang yang
pada akhirnya hanya merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
·
Toleransi
Adanya sikap menghargai
perbedaan membuat kedua belah pihak bisa hidup berdampingan walaupun keduanya
memiliki adat dan budaya atau kebiasaan berbeda. Semua pihak bisa melakukan
adat dan budaya atau kebiasaan masing-masing dengan bebas, tanpa merasa
terganggu dan diganggu oleh pihak lain, sehingga budaya yang ada dalam suku
tersebut tidak punah.
·
Empati
Dengan memposisikan
diri sebagai orang lain, kita akan mengetahui bagaimana rasanya ada di posisi
pihak lain sehingga kita tidak akan mengusik ketika pihak lain melakukan ritual
atau kebiasaan tertentu sukunya. Begitupun pihak lain, tidak akan mengusik
ritual atau kebiasan suku kita.
·
Bangga
Bangga yang harus kita
miliki adalah kebanggaan sebagai negara kesatuan Indonesia, bukan bangga
sebagai individu dari suku tertentu. Merasa bangga karena keragaman suku yang
ada di Indonesia. Keragamaan yang merupakan aset negara ini sehingga konflik
antarsuku di Indonesia tidak akan terjadi.
2. Mengatasi Konflik
Antar Kelompok etnis
Dalam
mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat tidaknya
suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan
pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot
atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak
ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian
persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi
apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang
demokratik dan beradab. Inilah yang
dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan
yang destruktif. Cara yang lebih
demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh
yang lebih kuat, adalah cara yang didasari itikat baik untuk berkompromi.
Musyawarah
untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau
lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah
disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi
terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat
mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian
kehidupan yang tenteram. Menyelesaikan
konflik pada dasarnya dapat melalui 2 (dua) cara lain, yaitu:
·
Mengeliminasi konflik ( conflict
elimination )
·
Mengelola konflik ( conflict
management )
Pada cara yang pertama, konflik diselesaikan dengan
cara mengeliminasi konflik berupa pemisahan orang-orang yang konflik pada
wilayah yang berbeda. Pada cara
yang kedua, mereka yang konflik tetap berada di suatu wilayah yang sama. Tetapi
mereka mulai berdialog, membuat kesepakatan dan menghormati perbedaan. Mereka
menyadari kemajemukan tidak harus disertai konflik tetapi harus saling
toleransi sehingga terwujud kehidupan yang penuh kedamaian.
Cara ini pulalah yang diupayakan di Indonesia.
Keberagaman etnis, suku bangsa dan agama diupayakan dapat hidup bersama dalam
kerukunan dan perdamaian. Kunci dari cara yang kedua ini adalah masing-masing
pihak yang bertikai memiliki kesadaran akan pentingnya wawasan kebangsaan
sebagai bangsa yang satu dan bertanah air satu. Meskipun beraneka ragam tetapi tetap bersatu.
Setiap warganegara harus menyadari bahwa konflik yang disertai kekerasan karena perbedaan yg bersumber dari kemajemukan dapat melemahkan
persatuan bangsa dan menghambat pembangunan nasional. Konflik terjadi karena memudarnya nilai-nilai dasar
bermasyarakat seperti religiusitas, musyawarah mufakat, tenggang rasa, menghargai perbedaan dan lain-lain. Konflik
dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, separatisme dan mengancam keutuhan
NKRI.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
kelompok etnis mempunyai
kesamaan baik dalam kebudayaan, sikap, bahasa, ras, dan lain-lain. Kelompok
etnis adalah pandangan seseorang atau penduduk terhadap kelompok lain, yang
mempunyai ciri yang berbeda dengan mereka sendiri. Dan konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dari pengertian ini jika di
lihat di Negara Indonesia yang memiliki keberagaman etnis maka keberagaman
ini jika tidak dikelola
dengan baik
dalam kehidupan dapat menjadi investasi konflik. Jadi, keberagaman ini harus di kelola dengan
edukatif, sistematis, dan kreatif, agar menjadi asset bangsa yang tak ternilai.
Dalam keberagaman etnis ini
banyak potensi konflik yang akan terjadi. Dari banyaknya potensi yang akan
timbul maka, kunci dari upaya menghilangkan konflik adalah mau berdialog dan
tetap memiliki semangat Bhineka Tunggal Ika.
B.
Saran
Menurut kami, alangkah baiknya
jika masing-masing dari individu ataupun kelompok antar etnis berupaya untuk
saling menjaga hubungan baik yaitu tidak saling berprasangka buruk karena itu
akan menyebabkan konflik, dan jika masing-masing individu atau kelompok dapat
saling menghargai dan menghormati. Maka, suasana tentram, aman dan nyaman pun
akan tercipta.
DAFTAR PUSTAKA
“Achmanto Mendatu. Prasangka dalam Konflik Antar Etnis.” http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/prasangka-dalam-konflik-antar-etnik.html (12 Maret 2013)
“Bayu Ardi. Pengertian Konflik Menurut Para Ahli.” http://bayuzamora.blogspot.com/2013/01/pengertian-konflik-menurut-para-ahli.html (12 Maret 2013)
“Fitri Maryani. Konflik Antar Etnis.” http://p3laj4r.blogspot.com/2012/04/karya-tulis-ilmiah-konflik-antar-etnis_19.html (12 Maret 2013)
“Indira Agustin. Pencegahan dan
Penyelesaian Kekerasan Konflik.”http://indira-afisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail59901Resolusi%20Konflik%20GlobalPencegahan%20dan%20Penyelesaian%20Kekerasan%20Konflik.html (12 maret 2013)
“M. Dhani Ashari. Pengertian Konflik Menurut Beberapa ahli.” http://dhaniasashari.blogspot.com/ (12 Maret 2013)
“RND’s. Pengertian dan Penyebab Konflik.” http://catatankecilrund.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-penyebab-konflik.html (12 Maret 2013)
[3]“Muhammad Zaki Al-Aziz, Konflik Lampung Selatan; Jalan Panjang Persatuan”. http://skhatzey.blogspot.com/2012/11/konflik-lampung-selatan-jalan-panjang.html (18 Maret 2013)
[4]
Miall, Hugh, Rambsbotham, Oliver dan Woodhouse, Tom 2000. “Chapter 4:
Preventing Violent Conflict” dalam Contemporary Conflict Resolution. Oxford:
Polity Press.