Selasa, 23 April 2013


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang syarat dengan keberagaman, baik dalam ranah etnik, budaya, agama, maupun suku. Keberagaman ini telah menjadi landasan dalam berkehidupan dan berkebangsaan yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Namun,  keberagaman yang merupakan kekayaan bangsa jika tidak dikelola dengan baik dalam kehidupan dapat menjadi investasi konflik. Maka keberagaman ini harus di kelola dengan edukatif, sistematis, dan kreatif, agar menjadi asset  bangsa yang tak ternilai.
Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting. Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antar etnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antar etnik berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antar etnik terus terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.
Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan, yang bahkan beberapa di antaranya sangat kontras, potensi kearah konflik sangatlah besar. Ketika Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai suatu rangkaian konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai sikap dan cara berfikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan inilah masalah terbesar dalam persatuan antar etnik. Nilai budaya inilah yang berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi ciri khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan sikap dan perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai budaya-nilai budaya yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berfikir yang berbeda pula.
Demikian juga dalam perilaku yang di ambil meskipun dalam masalah yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antar etnik. Oleh karena itulah, dalam makalah ini kami akan memaparkan penjelasan mengenai potensi konflik antar kelompok etnik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan konflik dan kelompok etnis ?
2.      Apa saja yang menjadi potensi konflik antar kelompok etnis di Indonesia ?
3.      Bagaimana cara mengurangi dan mengatasi konflik antar kelompok etnis di Indonesia ?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui dan memahami pengetahuan tentang multikultural dan integritas nasional khususnya memahami potensi konflik yang akan terjadi di dalam kemajemukan etnis di Indonesia.

D.    Metode Penulisan
Metode penulisan dari makalah ini merupakan sumber-sumber yang berasal dari data di sumber tak terbatas yaitu internet dan buku-buku yang di baca sebagai sumber rujukan makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.          Pengertian Konflik dan Kelompok Etnis
a.      Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Secara umum konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Pengertian konflik menurut beberapa ahli. Yaitu:
1.      Menurut Berstein, konflik merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat dicegah yang mempunyai potensi yang memberi pengaruh positif dan negatif.
2.      Dr. Robert M.Z Lawang, konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, di mana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
3.      Menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancamandan atau kekerasan.
4.      Lewis a. Coser, konflik adalah perselisihan mengenai nilai nilai atau tuntutan tuntutanberkenaan dengan status, kuasa dan sumber sumber kekayaan yang persediaannya terbatas.
Selain pendapat definisi konflik, para ahli juga memiliki pandangan tentang konflik. Seperti yang di kemukakan oleh Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (myers, 1993:234)
1)            Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
Dari pandangan ini telah kami diskusikan dengan teman sekelas dan memicu pertanyaan dari seorang teman yaitu apakah pandangan ini memiliki pandangan konflik yang positif ?[1] menurut kami, secara umum konflik memang ada yang positif yaitu salah satunya kompetisi. Pandangan ini di kemukakan oleh seorang tokoh yang memang ini adalah pandangan dia tentang konflik. Kita lihat saja definisi konflik secara umum dimana konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. dari pengertian ini saja kita dapat lihat bahwa konflik adalah interaksi yang negatif.
2)            Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.

b.      Pengertian Kelompok Etnis
Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Kelompok etnis menurut Barth (1998) dalam Habib (2004), bahwa kelompok etnik adalah suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan intraksi sendiri, menentukan sendiri kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Jadi, konflik antar etnis berarrti dua pihak atau lebih dari kelompok etnik yang bertentangan. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya mengatasnamakan etnis dan bisa saja hanya prasangka orang lain yang melihatnya.

B.           Potensi Konflik Antar Kelompok Etnis di Indonesia
Sumber konflik  antar etnik konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik antara lain:
1)                  Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak.
2)                  Perebutan sumber daya.
3)                  Sumber daya yang terbatas.
4)                  Kategori atau identitas yang berbeda.
5)                  Prasangka atau diskriminasi.
6)                  Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik  antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama yaitu:
1)            Konflik muncul karena ada benturan budaya.
2)            Karena masalah ekonomi-politik.
3)            Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Seperti contohnya konflik antara etnis lampung selatan dengan bali nuraga[2]. Dimana konflik ini terjadi dari konflik individu dan sekarang menjadi konflik antar etnis. Awalnya memang konflik ini berawal dari hal yang sepele dan mungkin dapat di selesaikan secara kekeluargaan. Awal mula konflik ini terjadi yaitu dipicu dugaan pelecehan seks yang menimpa dua gadis remaja.  Kronologi kejadian saat 2 gadis remaja dari Desa Agom, Nu, 19, dan Em, 18, yang melintas di Desa Balinuraga,  jatuh dari motor. Kedua gadis ini bukannya mendapatkan pertolongan dari para pemuda yang nongkrong di desa itu malah dilecehkan dengan cara dicolek-colek tubuhnya. Tidak terima diperlakukan tak senonoh membuat kedua gadis ini melapor kepada kedua orangtuanya dan membuat konflik ini ke ranah yang lebih luas lagi yaitu mengatas namakan etnis. Bukan hanya karena perkelahian sahaja akan tetapi kesenjangan ekonomi diantara kedua etnis berbeda ini bisa juga menjadi pemicu bentrokan yang berkala.
Seorang guru besar antropolog, Prof. Irwan Abdullah dalam bukunya[3] mengatakan bahwa ada dua hal yang bisa menjadi sangat berbahaya didalam ruang lingkup penduduk yang memuat lingkungan pendatang dan penduduk lokal. Yang pertama adalah ketika kelompok etnis dominan yang lebih unggul dalam hal ekonomi dan lain-lain, mendapatkan privelese dari berbagai agen sosial, khususnya pemerintah, dan yang kedua adalah ketika kesadaran tentang batas-batas budaya (cultural boundaries) mulai muncul. Orang-orang lampung setempat mungkin menyadari bahwa terdapat suatu keadaan dimana penduduk pendatang mempunyai tempat yang lebih dari mereka.
Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber konflik yang potensial.
Contoh : Dalam kasus konflik antara etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai etnik mana. Dan sebuah perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah membawa identitas etnik masing-masing.
Dari contoh kasus yang di paparkan di atas, banyak konflik yang dipicu oleh persoalan ekonomi. Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.
Sementara itu peranan politik dalam konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin menjadi salah satu sebab yang membuat pihak-pihak yang terlibat menggunakan konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.
Dalam hal ini faktor prasangka merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar etnik secara terbuka. Sehingga adapat dinyatakan bahwa prasangka merupakan sumber konflik antar etnik terbesar. Di Indonesia, agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Sehingga dapat di katakan bahwa semua kasus konflik dipicu salah satunya oleh prasangka yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis, dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.

C.          Cara Mengurangi dan Mengatasi Konflik Antar Kelompok etnis di Indonesia
1.      Mencegah atau Mengurangi Konflik Etnis/Antarsuku
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Itu adalah fakta yang tak bisa ditutupi atau dihindari. Di mana pun di dunia ini, keberagaman suku itu pasti ada. Keberagaman itu memang memperlihatkan betapa banyaknya perbedaan yang harus dipahami. Dari segi bahasa, satu kata bisa berarti begitu indahnya bagi satu suku, tetapi sebaliknya kata yang mempunyai arti indah itu mempunyai arti yang begitu jelek dan jorok bagi suku yang lain. Akibatnya, konflik yang berujung kekerasan antar sesama tak dapat dihindari lagi.
Konflik dan kekerasan hampir selalu menjadi isu yang berkaitan. Kekerasan dapat terjadi sebagai bagian dari konflik, namun juga dapat terjadi sebagai satu tahapan dalam rangka mengakhiri konflik. Konflik sendiri tidak selalu buruk karena ia dapat menjadi suatu fase untuk mencapai tahapan yang lebih baik. Yang kurang baik adalah penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan konflik.
Terdapat dua jenis cara untuk mencegah konflik[4]. Pertama, disebut sebagai light prevention dan yang kedua deep prevention. Light prevention ini berupaya untuk mencegah situasi kekerasan mengarah pada konflik bersenjata sehingga ia tidak berusaha untuk menyelidik lebih dalam pada sumber dan akar konflik. Contohnya adalah usaha-usaha mediasi dan intervensi diplomatic. Sedangkan deep prevention berupaya untuk menemukan akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas konflik tersebut dalam tatanan kapasitas domestik, regional, dan internasional untk mengelola konflik, yang melibatkan seluruh elemen konflik dan bertujuan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik. Untuk mencegah konflik atau perang sebelumnya harus diidentifikasi terlebih dahulu tipe konflik dan lokasi potensi-potensi konflik. Dan pencegahan bersifat relatif, bergantung pada aktornya baik konflik interstate wars maupun non-interstate war. Interstate war menitikberatkan pada perang yang dilakukan antara negara-negara dengan kapasitas power yang besar. Misalnya adalah LBB dan Perjanjian Versailles bertindak sebagai alat preventif perang yang terjadi pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sementara non-interstate war mengarah pada konflik-konflik yang meliputi konflik etnis karena adanya stratifikasi sosial, polarisasi masyarakat, inappropriate systemic, regional diasporas, dan sebagainya.
Berhasil atau tidaknya pencegahan konflik dapat dinilai dari beberapa tolak ukur, seperti implementasi kebijakan yang berlangsung segera dan cepat; adanya koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat dalam pencegahan konflik; pendekatan yang cenderung bebas dari pemerintah atau negara-negara yang peduli; adanya pendekatan jangka panjang; dan keikutsertaan kepentingan nasional dari salah satu negara yang turut campur tangan. Pencegahan konflik dapat dikatakan gagal apabila terjadi konflik senjata (light measures) dan ketika situasi yang ada mengarah pada konflik yang lebih besar (deep measures). Akan tetapi pencegahan konflik dapat dikatakan berhasil apabila konflik bersenjata dapat beralih ke arah perdamaian.
Salah satu contoh kasus resolusi konflik yang berhasil adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait dengan konflik etnis antara etnis Albania dan etnis Serbia yang terjadi di Kosovo setelah lengsernya pemerintahan Milosevic. DK PBB kemudian membentuk apa yang disebut UNMIK (United Nations Interim Administration for Kosovo) yang dibentuk pada 10 Juni 1999 dengan mengeluarkan Resolusi No. 1244 yang bertujuan untuk memulihkan kondisi di Kosovo pasca perang. UNMIK sendiri bertugas untuk melakukan pembangunan kembali sarana dan prasarana yang ada di Kosovo antara lain pendidikan, kesehatan, perbankan, telekomunikasi, hukum, ketertiban masyarakat, dan lain sebagainya.  Dari sini terlihat bahwa peran resolusi tidak hanya sebatas menyelesaikan konflik namun juga merekonsiliasikan dan berusaha mengembalikan kondisi dan situasi yang damai seperti sebelum masa perang.
Sebetulnya, konflik antar suku di Indonesia tidak perlu terjadi jika kita memiliki sikap-sikap berikut ini:
·               Mengenal
Dengan mengenal pihak yang berbeda suku, terutama yang hidup berdampingan, akan memperkecil bahkan mencegah timbulnya konflik antar suku di Indonesia. Mengenal tidak hanya tahu namanya, tetapi mengetahui suku bangsanya serta adat atau kebiasaan yang bersangkutan. Dengan demikian, ketika suatu saat ada hal-hal yang berbeda dengan adat atau kebiasaan suku kita, dapat kita pahami dan bisa kita terima dengan besar hati.
·               Tidak Ekspresif
Bertindak ekspresif ketika ada sesuatu yang berbeda dengan kita, kadang, menimbulkan terjadinya konflik antarsuku di Indonesia. Sebetulnya, jika kita sudah mengenal, hal ini tdak akan terjadi. Oleh karena itu, ketika mereka bertindak atau bertingkah laku tidak sama dengan kita, bahkan jauh berbeda, kita tidak kaget lagi. Dengan begitu, tidak akan ada saling mencemooh atau pihak lain yang tersinggung karena tindakan kita yang ekspresif tersebut, biasanya berujung pada saling serang yang pada akhirnya hanya merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
·               Toleransi
Adanya sikap menghargai perbedaan membuat kedua belah pihak bisa hidup berdampingan walaupun keduanya memiliki adat dan budaya atau kebiasaan berbeda. Semua pihak bisa melakukan adat dan budaya atau kebiasaan masing-masing dengan bebas, tanpa merasa terganggu dan diganggu oleh pihak lain, sehingga budaya yang ada dalam suku tersebut tidak punah.
·               Empati
Dengan memposisikan diri sebagai orang lain, kita akan mengetahui bagaimana rasanya ada di posisi pihak lain sehingga kita tidak akan mengusik ketika pihak lain melakukan ritual atau kebiasaan tertentu sukunya. Begitupun pihak lain, tidak akan mengusik ritual atau kebiasan suku kita.
·               Bangga
Bangga yang harus kita miliki adalah kebanggaan sebagai negara kesatuan Indonesia, bukan bangga sebagai individu dari suku tertentu. Merasa bangga karena keragaman suku yang ada di Indonesia. Keragamaan yang merupakan aset negara ini sehingga konflik antarsuku di Indonesia tidak akan terjadi.

2.      Mengatasi Konflik Antar Kelompok etnis
Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab.  Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif.  Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara yang didasari itikat baik untuk berkompromi. 
Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram. Menyelesaikan konflik pada dasarnya dapat melalui 2 (dua) cara lain, yaitu:
·               Mengeliminasi konflik ( conflict elimination )
·               Mengelola konflik ( conflict management )
Pada cara yang pertama, konflik diselesaikan dengan cara mengeliminasi konflik berupa pemisahan orang-orang yang konflik pada wilayah yang berbeda. Pada cara yang kedua, mereka yang konflik tetap berada di suatu wilayah yang sama. Tetapi mereka mulai berdialog, membuat kesepakatan dan menghormati perbedaan. Mereka menyadari kemajemukan tidak harus disertai konflik tetapi harus saling toleransi sehingga terwujud kehidupan yang penuh kedamaian.
Cara ini pulalah yang diupayakan di Indonesia. Keberagaman etnis, suku bangsa dan agama diupayakan dapat hidup bersama dalam kerukunan dan perdamaian. Kunci dari cara yang kedua ini adalah masing-masing pihak yang bertikai memiliki kesadaran akan pentingnya wawasan kebangsaan sebagai bangsa yang satu dan bertanah air satu. Meskipun beraneka ragam tetapi tetap bersatu.
Setiap warganegara harus menyadari bahwa konflik yang disertai kekerasan karena perbedaan yg bersumber dari kemajemukan dapat melemahkan persatuan bangsa dan menghambat pembangunan nasional. Konflik terjadi karena memudarnya nilai-nilai dasar bermasyarakat seperti religiusitas, musyawarah mufakat, tenggang rasa, menghargai perbedaan dan lain-lain. Konflik dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, separatisme dan mengancam keutuhan NKRI.
BAB III
PENUTUP

A.          Kesimpulan
kelompok etnis mempunyai kesamaan baik dalam kebudayaan, sikap, bahasa, ras, dan lain-lain. Kelompok etnis adalah pandangan seseorang atau penduduk terhadap kelompok lain, yang mempunyai ciri yang berbeda dengan mereka sendiri. Dan konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dari pengertian ini jika di lihat di Negara Indonesia yang memiliki keberagaman etnis maka keberagaman ini jika tidak dikelola dengan baik dalam kehidupan dapat menjadi investasi konflik. Jadi, keberagaman ini harus di kelola dengan edukatif, sistematis, dan kreatif, agar menjadi asset bangsa yang tak ternilai.
Dalam keberagaman etnis ini banyak potensi konflik yang akan terjadi. Dari banyaknya potensi yang akan timbul maka, kunci dari upaya menghilangkan konflik adalah mau berdialog dan tetap memiliki semangat Bhineka Tunggal Ika.

B.                 Saran
Menurut kami, alangkah baiknya jika masing-masing dari individu ataupun kelompok antar etnis berupaya untuk saling menjaga hubungan baik yaitu tidak saling berprasangka buruk karena itu akan menyebabkan konflik, dan jika masing-masing individu atau kelompok dapat saling menghargai dan menghormati. Maka, suasana tentram, aman dan nyaman pun akan tercipta.
  
DAFTAR PUSTAKA

“Achmanto Mendatu. Prasangka dalam Konflik Antar Etnis.” http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/prasangka-dalam-konflik-antar-etnik.html (12 Maret 2013)
“Bayu Ardi. Pengertian Konflik Menurut Para Ahli.”  http://bayuzamora.blogspot.com/2013/01/pengertian-konflik-menurut-para-ahli.html (12 Maret 2013)
“Fitri Maryani. Konflik Antar Etnis.” http://p3laj4r.blogspot.com/2012/04/karya-tulis-ilmiah-konflik-antar-etnis_19.html (12 Maret 2013)
 “Konflik.” http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik (12 Maret 2013)
“M. Dhani Ashari. Pengertian Konflik Menurut Beberapa ahli.” http://dhaniasashari.blogspot.com/ (12 Maret 2013)
“RND’s. Pengertian dan Penyebab Konflik.” http://catatankecilrund.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-penyebab-konflik.html (12 Maret 2013)



[1] Pertanyaan dari saudari Anggia Lazuardiah
[2] Pertanyaan saudari Wika Riani
[3]Muhammad Zaki Al-Aziz, Konflik Lampung Selatan; Jalan Panjang Persatuan”. http://skhatzey.blogspot.com/2012/11/konflik-lampung-selatan-jalan-panjang.html (18 Maret 2013)
[4] Miall, Hugh, Rambsbotham, Oliver dan Woodhouse, Tom 2000. “Chapter 4: Preventing Violent Conflict” dalam Contemporary Conflict Resolution. Oxford: Polity Press.

Senin, 11 Februari 2013


LAPORAN HASIL OBSERVASI
PROFESI KEPENDIDIKAN




Disusun Oleh:

Khoirotun Nafsi           (4915110317)
Ade Nuraini                  (4915110594)
        
  
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2012


PENGANTAR

SMP Negeri 32 jakarta sebuah sekolah yang terletak di jalan Pejagalan raya no. 51 Pekojan-Tambora Jakarta Barat 11240. Lebih dari 50 guru mengajar di SMP negeri 32 jakarta. Selain itu, letak gedungnya pun cukup strategis. Letaknya berdekatan dengan stasiun kota dan di dekat museum bank mandiri. Gedung ini di bangun pada tahun 1905 masa penjajahan belanda. dan di bangun oleh keturunan Tionghoa. Dan diresmikan oleh pemerintah DKI Jakarta sebagai sebuah sekolah negeri.
Di sekolah itulah kami berdua (Khoirotun Nafsi dan Ade Nuraini) mendapatkan tugas untuk mengobservasi sekolah tersebut dalam rangka menyelesaikan Ujian Akhir Semester untuk mata kuliah Profesi Kependidikan. Kami melakukan pengamatan langsung dengan masuk ke dalam kelas dan setelah itu melakukan wawancara kepada guru tersebut. Kami mewawancarai Bapak Nana Sutiatna (biodata terlampir) selaku guru bahasa inggris. Kami ditugaskan untuk mengetahui apakah seorang guru dapat menjadi motivator, edukator, administrator dan katalisator bagi murid-muridnya.
Guru ketika berada di dalam kelas diibaratkan sebagai seorang pedagang yang sedang menjual barang dagangannya. Calon pembelinya adalah siswa-siswinya. Barang dagangannya adalah ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Layaknya seorang pedagang yang akan melakukan promosi apa saja untuk membuat dagangannya laku terjual, gurupun juga demikian. Guru akan melakukan apa saja untuk membuat para siswa-siswinya tertarik pada materi yang diajarkan. Seorang guru tidaklah harus seseorang yang cerdas, brillian, dan mampu menguasai seluk beluk keilmuannya sampai detail.  Ia harus memiliki kompetensi yang cukup yang berhubungan dengan keilmuannya dan yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Andai kata seseorang telah paham inti dari keilmuannya dan mampu menerapkan inti keilmuan tersebut untuk memecahkan banyak sekali soal yang berhubungan denga keilmuannya, maka inipun sudah cukup. Apalagi juga orang tersebut juga paham dasar-dasar pendidikan, yaitu tentang perangkat pengajaran seperti kurikulum, silabus dan rencana pengajaran, ataupun tentang metode pembelajaran.

LAPORAN HASIL OBSERVASI
Setelah kami mengadakan observasi dengan cara mengamati langsung dan melakukan wawancara, kami mendapat berbagai macam ilmu baru yang diajarkan oleh Bapak Nana Sutiatna, dan kami dapat mengambil kesimpulan bahwa Bapak Nana Sutiatna merupakan guru yang bisa dikatakan baik walaupun masih banyak yang harus diperbaiki lagi dalam proses pembelajarannya. Indikator-indikator yang kami nilai adalah sebagai berikut :
A.    Guru Sebagai Motivator
Guru sebagai motivator artinya guru sebagai pendorong siswa dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Sering terjadi siswa yang kurang berprestasi, hal ini bukan disebabkan karena memiliki kemampuan yang rendah, akan tetapi disebabkan tidak adanya motivasi belajar dari siswa sehingga ia tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya. Dalam hal seperti di atas guru sebagai motivator harus mengetahui motif-motif yang menyebabkan daya belajar siswa yang rendah yang menyebabkan menurunnya prestasi belajarnya. Guru harus merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk membangkitkan kembali gairah dan semangat belajar siswa. Proses pembelajaran akan lebih berhasil jika siswa memiliki motivasi dalam belajar, maka guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan minat belajar siswa diantaranya:
1.      Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan siswa.
2.      Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan kemampuan siswa.
3.      Gunakan berbagai model dan strategi pembelajaran secara bervariasi.
4.      Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
5.      Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
Di samping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar siswa di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.
Dalam hal ini, menurut kami Bapak Nana sudah menjadi motivator di kelas yang ia ajar. Ia sudah menjadi seorang guru tidak hanya mampu mentransferkan ilmu mata pelajarannya kepada siswa. Namun, juga mampu membuat siswa memiliki orientasi dalam belajar. Jika di kelas, siswa belajar tidak hanya dengan mencatat apa yang ia sampaikan. Tapi juga mampu memahami dan menjawab untuk apa semua materi yang telah di ajarkan oleh Pa Nana. Seperti contoh mengabsen murid untuk maju kedepan membacakan hasil belajar mereka. Hal ini di lakukan Pa Nana untuk memotivasi murid-muridnya untuk berani mengeluarkan pendapat di depan umum.
B.     Guru Sebagai Edukator
Tugas pertama guru adalah mendidik anak didik sesuai dengan materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Sebagai educator, ilmu adalah sangat utama. Membaca, menulis, berdiskusi, mengikuti inormasi dan responsive terhadap masalah kekinian sangat menunjang peningkatan kualitas ilmu guru. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar.  Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Mengajar adalah menyampaikan/memberikan/mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa/murid. Pengajaran hanya menekankan pada aspek pengetahuan, sehingga ketika siswa telah mengerti dan memahami materi pelajaran yang diajarkan maka pengajaran bisa dikatakan berhasil. Sehingga bagi seorang pengajar tidak begitu risau dengan sikap dan perilaku siswa-siswanya, karena hal tersebut bukanlah merupakan tanggung jawabnya. Apakah para siswanya berperilaku baik atau buruk adalah hal yang tidak penting bagi mereka. Oleh sebab itu ada istilah ‘mengajar membaca’, ‘mengajar menulis’, ‘mengajar bahasa Inggris’, ‘mengajar berhitung’ dan lain sebagainya. Tanggung jawab pengajar hanya membuat mereka bisa menulis, membaca, berbahasa Inggris dan berhitung. Persoalan apakah para siswa menggunakan kemampuan membaca, menulis, berbahasa Inggris dan berhitung dalam kehidupan mereka sehari-hari untuk memecahkan permasalahan mereka tidaklah diperhatikan bagi seorang pengajar, yang penting para siswa telah menguasai kemampuan yang diajarkan.
Aktifitas mendidik adalah melakukan pembinaan sikap dan tingkah laku para siswa agar mereka menjadi manusia yang baik dan berguna bagi orang tua, masyarakat, nusa, bangsa dan agama. Hal ini lebih cenderung pada aspek emosional, mental-spritual dan tingkah laku. Tugas ini pada dasarnya yang harus dilakukan oleh orang tua dalam sebuah keluarga yang merupakan lingkungan pertama bagi anak. Orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap sikap-mental dan spiritual anak. Apakah anak tersebut menjadi anak yang baik atau buruk sangat bergantung pada pilihan-pilihan yang diberikan orang tuanya. Sedangkan guru merupakan penerus untuk melakukan pembinaan dan bimbingan kepada anak tersebut. Ketika anak telah dibina dan dibimbing dengan benar dalam keluarga mereka, sehingga mereka menjadi anak yang baik, maka sebagai hasilnya anak tersebut akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah sebagai lingkungan kedua mereka. Namun sebaliknya jika anak tidak dididik dengan benar dalam keluarga maka mereka akan mengalami kesulitan dalam memasuki lingkungan sekolah, yang pada muaranya kesulitan tersebut bukan hanya bagi mereka sendiri, tetapi juga gangguan bagi teman-teman dan lingkungan sekitar mereka.
Dalam hal ini, menurut kami Bapak Nana sudah dapat mengembangkan teknik penyampaian materi dengan tepat contohnya beliau mengartikan kaliamat bahasa inggris ke bahasa Indonesia, agar murid mengerti maksud yang dibicarakan. Selain tiu penjelasan meterinya menggunakan contoh dari kehidupan sehari-hari agar mudah di pahami oleh murid. Akan tetapi ada kekurangan dari beliau saat mengggunakan teknik mengajar, beliau masih menggunakan tekik menghafal dan ceramah. Teknik ini memperlambat murid menguasai materi.

C.     Guru Sebagai Administator
Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Guru bertugas pula sebagai tenaga administrasi, artinya sebagai pengelola kelas atau pengelola interaksi belajar mengajar. Adapun yang menjadi konsekuensi dari pengelolaan adalah meningkatnya prestasi, guru dan efektifitas dari situasi belajar mengajar. Jika segi instruksional dan kurikuler telah berjalan lancar, masalah pengelolaan amat dipengaruhi oleh hal-hal yang timbul pada kenyataan sehari-hari, sedangkan masalah kurikulum dan proses belajar mengajar dapatdirencanakan untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Terdapat dua aspek dari masalah pengelolaan yang perlu mendapat perhatian yaitu:
a)      Membantu perkembangan murid sebagai individu dan kelompok
b)      Memelihara kondisi kerja dan kondisi belajar yang sebaik-baiknya di dalam maupun di luar kelas.
Dari apa yang sudah dipapar kan di atas tentang guru sebagai administator. Kami menyimpulkan bahwa Pa Nana sudah memenuhi tanggungjawabnya sebagai guru yang dapat memenegemenkan suasana kelas untuk kenyamanan bersama. Sebagai contoh, saat si kelas yang kami amati, Pa Nana tidak sepenuhnya serius memberikan materi, ia meluangkan sedikit waktu untuk memberikan games ke pada murid-muridnya. Akan tetapi games tersebut tidak keluar dari materi yang disampaikan. Fungsi ia memberikan games tersebut, agar murid-murid tidak merasa tegang saat belajar, dan mudah meminggat materi yang disampaikan. Selain itu di terakhir jam pelajaran beliau memaparkan beberapa tujuan materi pembelajaran yang telah disampaikan. Di dalam kelas atau di luar kelas Pa Nana tetap menjadi seorang guru yang Administator karen dalam hubungannya dengan kegiatan pengadministrasian, Pa Nana sudah berusaha untuk  berperan sebagai berikut:[1]
a)      Mengambil inisiatif, mengarahkan, dan menilai kegiatan-kegiatan pendidikan. Hal ini berarti ia dituntut serta memikirkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang direncanakan serta nilainya.
b)      Mencerminkan suasana dan kemauan masyarakat dalam arti yang baik
c)      Orang yang ahli dalam bidang pengembangan. Bertanggungjawab untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi muda yang berupa pengetahuan.
d)     Menegakkan disiplin.
e)      Pelaksanaan administrasi pendidikan, berarti ia bertanggungjawab akan kelancaran jalannya pendidikan dan ia harus mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan administrasi.
f)       Pemimpin generasi muda, masa depan generasi muda terletak di tangan guru. Ia berusaha berperan sebagai pemimpin para murid dalam mempersiapkan diri untuk anggota masyarakat yang dewasa.
g)      Penerjemah kepada masyarakat, artinya ia berperan untuk menampilkan segala perkembangan kemajuan dunia sekitar kepada masyarakat, khususnya masalah-masalah pendidikan.

D.    Guru Sebagai Katalisator
Katalisator adalah seseorang atau sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dan menimbulkan kejadian baru atau mempercepat suatu peristiwa (Alwi, 2002: 515)[2]. Dalam hal ini peranan guru sebagai katalisator adalah sebagai pembaharu. Guru berperan dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Seorang guru dapat menjadi pembaharu melalui pengetahuan atau wawasan yang dimiliki dengan cara menyebarluaskan melalui perkumpulan-perkumpulan masyarakat setempat, kegiatan-kegiatan kepemudaan, atau bahkan bisa juga melalui sosialisasi.
Selain itu maksud dari peran guru sebagai katalisator yaitu guru yang berperan membentuk anak didik dalam menemukan kekuatan, talenta dan kelebihan mereka, guru bertindak sebagai pembimbing, membantu mengarahkan dan mengembangkan aspek kepribadian, karakter dan emosi[3].
Setelah memaparkan maksud dari peran guru sebagai katalisator di atas, kami menyimpulkan bahwa Bapak Nana sudah melakukan perannya sebagai seorang guru yang mejadi katalisator bagi proses pembelajaran anak didiknya. Sehingga sejak dini sudah dipersiapkan kondisi agar anak didik benar-benar menguasai materi pelajaran secara maksimal. Pa Nana sudah dapat mengatur kecepatan reaksi belajar anak didik, artinya setiap kondisi anak didik harus benar-benar terkontrol sehingga ketercapaian aspek materi pelajaran benar-benar jelas terlihat dengan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi sekolah ataupun kondisi para murid. Jika memang reaksi para murid tidak sesuai yang di harapkan beliau, beliau melakukan system remedial untuk merubah atau membantu nilai-nilai para murid yang tidak memenuhi standar.


KESIMPULAN

Kesimpulan dari laporan observasi guru yang kamu buat ini adalah bahwa Bapak Nana Sutiatna salah satu guru bahasa inggris di sekolah SMP Negeri 32 jakarta merupakan guru yang bisa dikatakan baik walaupun masih banyak yang harus diperbaiki lagi dalam proses pembelajarannya. Dalam peran guru sebagai motivator, educator, administrator dan katalisator, Pak Nana merupakan guru yang sudah berusaha mengaplikasikan keempat peran guru tersebut dalam pembelajarannya. Akan tetapi dalam pengaplikasiannya ada beberapa yang tidak sesuai, ada beberapa teknik lama yang masih di kembangkan oleh Bapak Nana di dalam kelas seperti menggunakan teknik menghafal bukan pemahaman.
Dalam hal ini, menurut kami Bapak Nana sudah menjadi motivator di kelas yang ia ajar. Ia sudah menjadi seorang guru tidak hanya mampu mentransferkan ilmu mata pelajarannya kepada siswa. Namun, juga mampu membuat siswa memiliki orientasi dalam belajar. Selain itu penjelasan meterinya menggunakan contoh dari kehidupan sehari-hari agar mudah di pahami oleh murid. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Pa Nana sudah dapat mengatur kecepatan reaksi belajar anak didik, artinya setiap kondisi anak didik harus benar-benar terkontrol sehingga ketercapaian aspek materi pelajaran benar-benar jelas terlihat dengan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi sekolah ataupun kondisi para murid.


[1] “Sayyida Sarah, Peran Guru Sebagai Administator.” http://sayyida-sarah.blogspot.com/2012/04/peran-guru-sebagai-administrator.html (12 Januari 2013)
[2]“Atika Zaqiyatu, Sang Katalisator dan Motivator.” http://atika-zaqiyatut-th.blogspot.com/2012/11/sang-katalisator-motivator-dan.html (12 Januari 2013)
[3] “agus Basuki, Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar.” http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/agus-basuki-mpd/bimbingan-konseling-di-sekolah-dasar.pdf (12 Januari 2013)